Jumat, 20 Mei 2011

RATAPAN DUNIA PENDIDIKAN

Pendidikan, suatu hal yg sangat penting dalam kehidupan ini. Apalagi di zaman serba canggih dan dunia yg seakan tanpa batas ini. Pemerintah pun mewajibkan setiap warga negara untuk bersekolah selama 9 tahun, yaitu di tingkat SD (6 tahun) dan SMP (3 tahun). Meskipun pendidikan itu tdk harus didapatkan di bangku sekolah formal menurut saya. Tapi ini merupakan salah satu jalan agar setiap anak bangsa mendapat ilmu pengetahuan. Sayangnya, masih banyak anak yang tak bisa bersekolah. Mereka terpaksa harus bekerja demi kehidupan yg serba kekurangan. Namun, yg lebih memprihatinkan adalah saat seorang anak yg mampu untuk bersekolah tetapi malas sekolah. Sengaja bolos sekolah untuk pergi ke tempat yg tak semestinya hanya untuk mencari kesenangan sesaat. Atau datang ke sekolah hanya karena paksaaan orang tua dan bermalas-malasan di kelas. Apakah mereka tdk pernah berpikir bahwa mereka adalah orang-orang yg sangat beruntung karena orang tuanya masih mampu untuk menyekolahkan mereka? tetapi kesempatan emas utk mendapat ilmu malah disia-siakan, Menyedihkan bukan?
Memang kita tak dapat menyalahkan siswa yg malas ini sepenuhnya, karena bisa jadi mereka merasa terbebani dengan pendidikan formal di sekolah. Atau mereka punya masalah dalam lingkungan keluarganya, sehingga mereka mencari pelarian dari masalah tersebut. Tak jarang siswa yg malas, siswa yg nakal, yg sering membuat onar, adalah siswa yg bermasalah dalam lingkungan keluarganya. Misalnya, dari keluarga broken home, orang tua yg otoriter, orang tua yg sibuk dgn pekerjaan, sehingga siswa yg merupakan seorang anak manusia yg punya perasaan merasa kesepian dan terabaikan. Ups, maaf. Sebenarnya saya bukan seorang psikolog yg kompeten untuk membicarakan masalah ini. Saya hanya berkomentar atas apa yg saya lihat pada siswa saya.
Baiklah, kembali kita bicarakan tentang dunia pendidikan di negeri ini. Dunia yg sangat luas...yg entah masih adakah orang yg peduli dgn nasibnya.
Pendidikan memang identik dengan sekolah. Mari kita tilik bagaimana proses pendidikan di sekolah saat ini. Proses yg ada di sekolah sangat menekankan pada pencapaian nilai yg tinggi. Berorientasi pada nilai akhir. Padahal, nilai yg tinggi itu belum tentu dapat menjadi jaminan bahwa seseorang menguasai ilmu yg telah ia dapatkan. Karena bisa saja nilai yg tinggi itu didapat melalui tindakan curang. Sudah menjadi rahasia umum yg bagi saya bukan lagi rahasia, bahwa dalam setiap ujian bahkan Ujian Nasional selalu saja ada kecurangan yg dilakukan siswa. Yang sangat menyedihkan adalah jika guru yg semestinya menjadi teladan malah ikut terlibat dalam tindakan kecurangan ini. Menyontek...seakan sudah jadi tradisi di dunia pendidikan. Hal yang dulu sungguh memalukan, sekarang malah terbalik, malu kalau tdk ikut menyontek. Aduuuuuh, beginikah siswa zaman sekarang? Tapi masih banyak siswa yg jujur dan berusaha atas kemampuannya sendiri, tapi tentu saja jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan siswa CURANG. Sayangnya, siswa yang jujur ini seringkali mendapat nilai yg tidak memuaskan, bahkan ada yg tidak lulus ujian. Sedangkan siswa curang lulus dgn nilai di luar dugaan. Adilkah???
Banyak cerita mengenai pelaksanaan ujian nasional. Akan saya uraikan beberapa di antaranya, meskipun saya yakin bahwa Anda juga tentu mengetahuinya. Ini rahasia umum. Bukan rahasia lagi kan?
Sebelum dan saat pelaksanaan ujian nasional, banyak sms tersebar yg berisi kunci jawaban dari soal yg diujikan. Entah siapa sumbernya. Seringkali jawabannya itu tepat, meski tak menutup kemungkinan ada jawaban yg salah atau sengaja disalahkan. Hal ini telah terjadi sejak bertahun-tahun yang lalu dan masih saja terjadi sampai ujian nasional kali ini. Sebagian besar siswa akhirnya menyandarkan diri pada “kemurahan hati” si penyebar sms yg masih misterius itu. Yang parahnya nih, penyebaran sms ini terkadang juga melibatkan oknum guru dgn alasan kasihan pada siswa. Seorang guru menuturkan bahwa beliau pada ujian nasional tahun ini mengirim sms kunci jawaban pada siswanya dan minta disebarkan pada siswa lain. Apa motifnya? Ternyata beliau yg belum pernah melakukan hal ini sebelumnya, merasa harus melakukannya karena guru-guru lain yg jadi pengawas ujian juga melakukan hal itu. Maka beliau pun mengirim sms demi “menyelamatkan” siswanya. Sebenarnya, apa yg dilakukan oknum guru ini akan jadi boomerang bagi dirinya, atau bahkan bagi semua guru.

Seorang mahasiswa PPL (praktek pengalaman lapangan) yg sedang praktek mengajar di suatu SMA, mendapat tugas untuk mengajar di kelas XII. Dia mengajarkan matematika. Sungguh pengalaman yg tidak menyenangkan tuturnya. Saat dia menjelaskan matematika, banyak siswa tidak memperhatikan. Dia pun memberi teguran dan mengingatkan pentingnya belajar matematika karena mata pelajaran ini merupakan salah satu mata pelajaran yg diujikan di ujian nasional. Apa jawaban siswa tersebut saat ditegur? Jawabnya, “Ga penting, nanti ada saja sms”. Maksudnya, ada sms kunci jawaban, sehingga tak perlu belajar, cukup menunggu sms jawaban itu dan mereka pun lulus. Apa tidak mengecewakan? Susah payah guru mengajarkan selama bertahun-tahun, ternyata di akhir, siswa lebih percaya pada sms daripada kemampuannya. Sungguh memprihatikan....Ini adalah boomerang dari adanya penyebaran sms itu. Siswa jadi tidak lagi termotivasi untuk belajar. Mereka lebih memilih bersantai-santai dan nunggu “durian runtuh” alias sms jawaban. Pemikiran siswa seperti ini membuat siswa jadi malas belajar dan tentu akan merugikan pendidikan.
Boomerang lainnya adalah sikap siswa kapada guru. Sungguh jauh berbeda dengan bertahun-tahun yang lalu. Meskipun masih ada siswa yg hormat dan santun pada guru, tetapi siswa yg tidak sopan jauh lebih banyak. Dulu, malu sekali jika ditegur oleh guru. Tapi sekarang, siswa merasa teguran itu seperti prestasi. Aneh bukan? Dulu, jika diberi tugas, dikerjakan dgn sungguh-sungguh. Sekarang, tinggal mengcopy-paste punya teman. Dulu dan sekarang jauh berbeda. Hal ini juga disebabkan perkembangan teknologi yg sungguh sangan cepat. Di zaman globalisasi ini, apa sih yg tidak diketahui? Semua bisa diketahui dgn mudah. Antar daerah, antar negara, antar benua, sampai ke antariksa. Rupanya, perkembangan teknologi ini juga punya dampak negative bagi siswa. Contohnya, saat belajar di kelas, ada siswa yg mendengarkan music dengan menyembunyikan headsetnya di balik kerudung. Di rumah, kurangnya control orang tua juga mengakibatkan siswa lebih betah bermain game daripada belajar. Main PS, browsing, facebookan, YM, dll. Waktu untuk belajar pun berkurang. Tak hanya dari sisi prestasi siswa yg kurang baik, moral mereka pun dapat tercemar karena tak semua anak memiliki kemampuan yg baik dalam menyaring informasi yg mereka dapatkan. Ini bukan salah dari teknologi, tapi kontrol dari semua pihak yg kurang terhadap anak dalam memanfaat teknologi itu. Coba anda perhatikan tayangan di televisi. Sinetronnya sebagian besar bertema cinta dan remaja, perebutan harta dan kekuasaan, saling fitnah, bermusuhan. Yang miris adalah sikap siswa kepada guru yg tidak hormat. Guru malah dijadikan bahan olok-olok atau digambarkan sangat menyeramkam alias killer. Siswa yang berpakaian sangat minim dan tak pantas dengan dandanan berlebihan. Akibat tayangan seperti ini, tak sedikit anak atau remaja yang meniru. Inikah yg diharapkan? tentu tidak.

Kembali ke ujian nasional. Sungguh di luar dugaan. Hasil yg mencengangkan. Aneh bin ajaib. Pada saat pengumuman hasil ujian, peringkat tertinggi di sekolah seringkali bukanlah siswa yg sehari-hari dinilai pandai dan cerdas oleh guru, tetapi siswa yg biasa-biasa saja atau bahkan di bawah rata-rata. Perangainya pun tidak mencerminkan sama sekali bahwa dia siswa yang rajin. Ini adalah pengalaman ibu saya sendiri yang jadi guru. Tak hanya ibu saya yg kecewa dgn hasil ujian nasional itu, tapi guru yg lain. Tentunya, siswa yg biasanya menjadi juara kelas atau berprestasi di sekolah berharap merekalah yg menjadi terbaik saat kelulusan. Tetapi rupanya siswa lain yg lebih “BERUNTUNG”. Nah, ini bukan sekadar cerita rekaan lo. NYATA !!!
Teman saya bercerita. Saat dia mengetahui hasil kelulusan dan ternyata yg menjadi juara peraih nilai tertinggi di sekolahnya adalah siswa lain dgn nilai yg “mengagumkan”, dia juga merasa kecewa. Tapi itu hanya sementara, karena dia jauh lebih bangga dgn nilai yg dicapainya dengan jerih payah dan kerja kerasnya sendiri. Bukan dgn menggantungkan nasib pd bantuan oknum-oknum tak dikenal. Gurunya pun berkomentar padanya bahwa beliau lebih bangga pada teman saya itu daripada “sang JUARA” yang nilainya itu entah bagaimana cara meraihnya. Wallahua’lam.
Pernah pula kejadian di sekolah saya sendiri. Seorang teman yg tidak sekelas dengan saya meraih nilai ujian nasional pada mata pelajaran matematika 10. Padahal sehari-harinya, dia selalu mengikuti remedial. Guru saya pun bukannya senang dgn nilai yg diraihnya itu, malah beliau sangat kecewa sekali. Sampai suatu ketika, guru matematika saya itu pun mengungkapkan perasaan beliau pada teman saya itu. “Dapat ilham dari mana bisa dapat nilai 10?” tanya guru saya. Teman saya cuma senyum dan bilang “dari Allah”. Sepengetahuan saya demikian. Ini diceritakan teman yg lain yg menyaksikan kejadian itu. Ah, guru saya bukannya su’udzon padanya, tetapi suatu hal yg benar-benar tidak disangka. Heran.
Ada lagi nih yang tidak kalah heboh. Tidak hanya oknum guru yg terlibat dalam kecurangan ini, tetapi ada juga kepala sekolah yang melegalkan kecurangan itu terjadi. Pengakuan seorang wakil kapala sekolah, sebut saja Bapak K. Bapak K ini diperlihatkan oleh kepala sekolah yg menjadi atasan beliau di sekolah, kunci jawaban soal ujian nasional yang siap disebarkan kepada siswa lewat sms. Astaghfirullah. Kepala sekolahnya sendiri ikut-ikutan. Bagaimana mungkin bisa terjadi perbaikan dalam pendidikan?

Fakta lainnya. Seorang guru mengaku kepada saya. Sebut saja Ibu R. Ibu R bercerita bahwa di sekolah beliau dulu sebelum beliau pindah ke sekolah tempat bertugas sekarang, beliau bersama guru-guru lainnya membantu siswa dengan membentuk tim sukses UN. Tugas tim sukses ini adalah memperbaiki jawaban siswa dengan menghapus jawaban siswa yang salah kemudiaa mengganti jawaban tersebut dengan jawaban yang benar. Sehingga nilai siswa dapat menjapai passing grade supaya lulus. Walaupun lulus dengan nilai pas-pasan, yang penting lulus. Lalu, saya bertanya, “Apakah semua guru mau jika disuruh menjadi tim sukses?”
“Tentu saja, terutama guru mata pelajaran yang di UN. Kan gurunya gak mau dianggap gak becus ngajar. Kalo banyak siswa yang gak lulus, gurunya yang disalahkan. Kasihan juga sama siswa. jadi, ditolong supaya lulus. Tapi siswa gak tau ada tim sukses ini. Jadi, mereka bener-bener belajar dgn sungguh-sungguh. Gak tau akan dibantu. Nah, jadinya siswa masih menaruh hormat sama guru. Masih mau belajar dan memperhatikan. beda dgn sekarang. Mereka tau kalo nanti akan ditolong, dapat bocoran. makanya siswa gak sopan lagi sma guru”, begitulah jawaban dari Ibu R.
Ya ampuuuun...., walau bagaimanapun bentuknya, tetap tak bisa dibenarkan. Yang bathil tetap bathil. yang haq tetap haq.

Kisah lainnya. Tak hanya oknum sekolah, oknum lain yang masih misterius juga banyak berperan dalam kecurangan ini. Bukan hanya dalam bentuk penyebaran sms, tetapi kebocoran soal ujian. Sudah sering saya dengar bahwa ada pihak yang mencari keuntungan dengan menjual soal ujian. Entah itu soal ujian yang benar atau soal ujian palsu. Tetapi buktinya, masih banyak siswa yang percaya dan membeli soal dari oknum itu dengan harga yang tidak bisa dikatakan sedikit.
Seorang siswa SMP bercerita bahwa temannya mengajak dia untuk patungan membeli soal ujian yang seingat saya seharga 18 juta rupiah. Tapi siswa ini tak mau. Dia lebih memilih belajar dan berusaha sendiri dgn mengharap pertolongan Allah. Ada pula siswa SMA yang mengatakan bahwa di sekolahnya, siswa mengumpulkkan sejumlah uang sebesar 300-400 ribu. Untuk apa? Untuk membeli soal ujian. Setelah didapatkan, soal itu dijawab bersama. Cerita teman saya yang menjadi guru privat seorang siswa SMA swasta. Dia diajak oleh siswanya untuk menjawab soal ujian yang telah didapatkan oleh temannya. Tapi, teman saya ini tahu bahwa itu adalah kecurangan yang hanya merupakan pembodohan. Maka, dia pun tidak bersedia dengan membuat alasan ada acara yang harus dihadiri. Entah dari mana soal itu didapatkan, yang jelas kebocoran soal ini bukan hal yang asing. Berita di televisi yang pernah saya tonton menayangkan seorang penjual soal ujian yang tertangkap. Ada pula berita mengenai oknum guru dan siswa yang ditangkap polisi karena pembocoran soal. Begitu pula dengan pengawas ujian, saya lihat di tayangan televisi ada pengawas yang memberikan kunci jawaban soal dengan menuliskannya di selembar kertas.
Berbicara tentang pengawas ujian, sungguh ini suatu tanggung jawab yang sangat berat bagi seorang pengawas. Seorang pengawas dihadapkan pada sebuah dilema. Seperti buah simalakama. Jika pengawas bersikap tegas dan disiplin, ketat dalam penjagaan dan jujur, maka pihak sekolah tak jarang malah menyalahkan si pengawas. Sebaliknya, jika pengwas bersikap longgar, bukankah itu tindakan yang sama saja dengan melegalkan tindakan curang yang ada di depan mata. Maka, tak ada pilihan lain yang dianggap paling baik oleh sebagian besar pengawas, kecuali menutup mata dgn fenomena itu. Meski hati nurani tidak membenarkannya. Kisah seorang guru yang bertugas menjadi pengawas ujian. Beliau mengambil handphone seorang siswa yang ditemukan saat ujian. Meski ayah dari siswa tersebut adalah seorang pejabat, guru itu tetap bertindak tegas tanpa memandang siapa ayah siswa tersebut. Handphone itu diambil dan dilaporkan ke pihak sekolah. Apa yang diterima oleh guru itu? Beliau malah dimarahi kepala sekolah karena telah mempersulit siswa sekolah itu. Aneh kan? Bertindak jujur malah disalahkan. Masih banyak kisah lain tentang sulitnya jadi pengawas. Sungguh dilema.
Sekarang mari kita pikirkan. Apa sebenarnya tujuan pendidikan itu? Bukankah untuk membentuk manusia seutuhnya? Yang cerdas dan berakhlak mulia? Nah, sudah kah itu tercapai? Jawablah dgn jujur. Bercermin pada pelaksanaan ujian nasional, memang nilai yg diraih sangat tinggi. Dapat kita katakan tingkat kelulusan sangat memuaskan. Dari tahun ke tahun terjadi peningkatan persentase kelulusan. Tapi, tidakkah kita sadari bahwa dari tahun ke tahun pula, pendidikan meluluskan manusia-manusia berjiwa koruptor. Dari tahun ke tahun bukanlah terjadi peningkatan prestasi, tetapi kemerosotan moral. Dari tahun ke tahun, bukan siswa yang berilmu pengetahuan yang bertambah, tetapi siswa yang tidak peduli dengan pentingnya ilmu. Dari tahun ke tahun, kejujuran semakin terkikis dari hati generasi bangsa. Budaya menyontek terus dilestarikan oleh keadaan. Teladan yang semestinya digugu dan ditiru kini entah ada di mana keberadaannya. Inikah pendidikan yang kita inginkan? Bukan. Bukan yang seperti ini.
Sungguh..., ingin menangis rasanya membayangkan bangsa ini nantinya akan dipimpin oleh mereka yg lulus sekolah dgn ketidakjujuran. Sekolah hanya untuk meraih ijazah, bukan untuk mendapat ilmu pengetahuan. Sekadar mencari gelar dan akhirnya bisa kerja. Sungguh..., ingin marah rasanya pada keadaan yg menyebabkan mereka yg meraih prestasi dgn cara tidak benar diagung-agungkan, sementara mereka yg bertahan pada prinsip kejujuran malah terabaikan, tak jarang mereka malah ditertawakan karena prinsipnya atau dijatuhkan karena mereka tdk mampu berprestasi sebaik yg dicapai oleh siswa yg menghalalkan segala cara. Sungguh..., jika pendidikan itu sosok yg bernyawa, tentu sekarang dia sedang meratapi nasibnya. Apakah ke depan akan lebih baik? Semoga. Tapi itu takkan tercapai jika hanya segelintir orang yg mengusahakan perubahan dan perbaikan di dunia pendidikan. Mari kita melangkah bersama dan bersatu dalam memperbaiki dan memajukan pendidikan di negeri ini. Keterlibatan semua pihak sangat diharapkan dan dibutuhkan. Sekecil apapun kontribusi kita, itu sangat berarti. Tunggu apa lagi?
Wallahu’alam


Mendengarkah kau...
wahai insan berakal
Sebuah ratapan
dariku yang tak bernyawa
Masa depan gemilang
Apakah hanya angan-angan?
Asa akan kesuksesan bangsa
Dapatkah jadi nyata?
Penghargaanku pada setiap peluh
mereka yang berjuang
demi ilmu yang dirindui
Kebangganku pada setiap tangis
mereka yang berharap
anak didik jadi tumpuan
Jangan biarkan ku hina
dalam kebobrokan
bertopeng pencapaian indah
namun semu dan tak bermakna
Bukan itu inginku
Kerja kerasmu ku nantikan
Buktikanlah...
Ku tunggu perubahan
pada diriku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar